Peraturan Menteri ; Kedudukan, Contoh, Fungsi Dan Proses Pembentukannya

Peraturan Menteri – Jabatan Menteri dibawah Presiden memiliki tugas dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan bidangnya. Oleh karena itulah dalam pelaksanaan tugas, seorang menteri dapat mengeluarkan sebuah produk hukum berupa Peraturan Menteri. Peraturan tersebut selain untuk membantu dalam menjalankan pemerintahan, juga memberikan regulasi yan sebelumnya belum pernah tercakup.

Peraturan Menteri ; Kedudukan, Contoh, Fungsi Dan Proses Pembentukannya

Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan peraturan menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang- undangan di atasnya yang secara jelas mendelegasikan.

Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan.

Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya.

Pengertian Peraturan Menteri sendiri adalah pengaturan (regeling), mengikat umum, norma perundang-undangannya selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus.

Kedudukan Peraturan Menteri setelah disahkannya Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan berkaitan pada Hierarki perundang-undangan, yaitu:

  1. Undang Undang Dasar 1945

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah:

  • Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal.
  • Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
  1. Ketetapan MPR

Adanya perubahan atau Amandemen pada Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan setara sebagai lembaga negara dengan lembaga negara lainnya seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.

Tugas MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres yang telah mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

  1. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Materi muatan Undang-Undang adalah:

Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.

Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa atau menunjukkan bahwa negara dalam keadaan darurat, dengan ketentuan sebagai berikut:

Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR

  • Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
  • DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
  • Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
  1. Peraturan Pemerintah

Pada urutan ke empat adalah Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

  1. Peraturan Presiden

Di urutan ke lima adalah Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

  1. Peraturan Daerah

Sedangkan di urutan ke enam hierarki yang juga menjadi peraturan dengan tingkat cakupan terendah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sendiri adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kedudukan Peraturan Menteri

Kedudukan Peraturan Menteri sendiri yang mana telah dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, terdapat dua jenis kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011 yakni sebagai berikut:

  1. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
  2. Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini disebabkan UU No. 12 Tahun 2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104 UU No. 12 Tahun 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12 Tahun 2011 masih tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (UU No.10 Tahun 2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.

Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12 Tahun 2011, baik yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.

Apalagi pada ketentuan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:

Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Dari situ kita dapat memahami bahwa menurut UU 12/2011 keputusan-keputusan yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut, harus dimaknai sebagai peraturan.

Ketentuan seperti ini juga diatur dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”) yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU 12/2011.

Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan undang-undang.

Sekedar menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/atas kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.

Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 juga menegaskan bahwa: Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Hal tersebut lebih lanjut berarti juga termasuk pada Peraturan Menteri, yang mana di Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi).

Sedangkan Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 juga menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, maka dapat disimpulkan bahwa tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.

Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.

FUNGSI PERATURAN MENTERI

Fungsi Peraturan Menteri itu sendiri berfungsi untuk mempercepat pelaksanaan pemerintahan yang mana dalam hal ini dilakukan oleh lembaga Eksekutif. Alasannya adalah karena seringkali kebijakan teknis perlu dengan cepat diubah sesuai dengan keadaan yang nyata sehingga dalam hal ini akan lebih cepat mengubah peraturan pelaksanaan daripada mengubah undang-undangnya.

Hal berbeda akan terjadi apabila seluruh kebijakan teknis diserahkan kepada DPR. Dampak negatifnya adalah maka waktu DPR akan banyak tersita untuk membahas hal yang bersifat teknis. Contoh peraturan yang demikian adalah peraturan mengenai perubahan organisasi pada kementerian.

Alasan lainnya adalah karena kementerian dan lembaga cenderung lebih mampu membuat pengaturan yang efektif karena merupakan area keahlian mereka. Namun, khusus untuk peraturan daerah, maka mereka yang berada di daerah akan lebih lebih memahami atau mengetahui kondisi masing-masing daerah setempat. Sebagai contoh peraturan mengenai tata ruang suatu wilayah.

Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan ini juga memiliki beberapa manfaat yakni sebagai cara utnuk menghindari salah satu cabang kekuasaan (eksekutif atau legislatif) mendominasi kekuasaan. Dengan adanya pendelegasian ini pada akhirnya juga menciptakan prinsip checks and balances kekuasaan. Dua hal yang akan dihindari adalah sebagai berikut:

  1. Apabila peraturan pelaksanaan tersebut didominasi oleh legislatif, yang mana dalam arti peraturan pelaksanaan dibuat oleh badan legislatif, secara praktis dapat menghambat pelaksanaan suatu undang-undang yang mana harus dilakukan oleh eksekutif sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya mengingat legislatif tidak mengetahui praktik pelaksanaan secara detail dan pengaturan lokal.
  2. Akan tetapi apabila peraturan pelaksanaan dibuat secara penuh oleh eksekutif, maka akan berpotensi kekuasaan legislatif akan diambil alih oleh eksekutif. Selain itu, mencegah eksekutif menyelenggarakan pemerintahan secara tidak terkendali atau menjadi lembaga super power. Dengan adanya delegasi kewenangan dari legislatif kepada eksekutif akan mencegah eksekutif melakukan improvisasi yang tidak tepat dalam menyelanggarakan pemerintahan.

CONTOH PERATURAN MENTERI

Berikut beberapa contoh Peraturan Menteri terbaru yang mana ada juga yang berimbas pada Peraturan Menteri sebelumna.

  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2019 tanggal 24 April 2019 mengenai Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Berdasarkan Izin Kelas yang juga mencabut:
  1. PERMENHUB No. KM. 2 Tahun 2005
  2. PERMENKOMINFO No. 27/PER/M.KOMINFO/06/2009
  3. PERMENKOMINFO No. 28 Tahun 2015
  4. PERMENKOMINFO No. 35 Tahun 2015
  5. PERDIRJENPOSTEL No. 09/DIRJEN/2005
  6. PERDIRJENPOSTEL No. 221/DIRJEN/2007
  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 18 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 mengenai Pencabutan Tiga Puluh Tiga Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.
  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 yang mengatur Kegiatan Amatir Radio dan Komunikasi Radio Antar Penduduk.
  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 16 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Ketentuan Operasional Sertifikasi Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang juga mencabut:
  1. PERMENKOMINFO No. 44/PER/M.KOMINFO/10/2009
  2. PERMENKOMINFO No. 5 Tahun 2013
  3. PERMENKOMINFO No. 18 Tahun 2014
  4. PERMENKOMINFO No. 1 Tahun 2015
  5. PERMENKOMINFO No. 23 Tahun 2016
  6. PERMENKOMINFO No. 11 Tahun 2017
  7. KEPMENKOMINFO No. 537/KEP/M.KOMINFO/10/2011
  8. PERDIRJEN POS dan TELEKOMUNIKASI No. 313/DIRJEN/2010
  9. PERDIRJEN POS dan TELEKOMUNIKASI No. 2 Tahun 2018
  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 15 Tahun 2018 tanggal 18 Oktober 2018 tentang Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia yang juga mencabut:
  1. PERMENKOMINFO No. 36/PER/M.KOMINFO/10/2008
  2. PERMENKOMINFO No. 31/PER/M.KOMINFO/8/2009
  3. PERMENKOMINFO No. 01/PER/M.KOMINFO/02/2011

Itulah beberapa contoh dari Peraturan Menteri untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika  RI. Informasi dari setiap Permen atau Peraturan Menteri sendiri banyak yang diunggah pada situs resmi kementrian Republik Indonesia sehingga anda bisa memperhatikan setiap pembaharuannya.

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN MENTERI

Jika menteri ingin membuat kebijakannya ke dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang ada di atas hierarkinya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan.

Prinsip tersebut di atas dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Menteri, di samping juga asas-asas lain yang secara umum telah dianut oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, misalnya :

  1. asas tujuan yang jelas;
  2. asas organ atau lembaga yang tepat;
  3. asas perlunya peraturan;
  4. asas dapat dilaksanakan;
  5. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
  6. asas kepastian hukum; dan
  7. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.

Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

  1. kejelasan tujuan;
  2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
  3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
  4. dapat dilaksanakan;
  5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
  6. kejelasan rumusan; dan
  7. keterbukaan.

Secara khusus setiap kementrian memiliki asas dan tata cara tersenidiri dalam proses pembentukan peraturan menteri. Hanya saja, secara garis besar proses pembentukan dari peraturan menteri tersebut adalah sebagai berikut:

  1. PERENCANAAN
  2. Perencanaan penyusunan Peraturan Menteri dilakukan dalam suatu P3M.
  3. P3M sebagaimana dimaksud adalah dibuat oleh Pemrakarsa dan dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal dengan tembusan Kepala Biro Hukum dan KLN.
  4. Perencanaan penyusunan Peraturan Menteri disusun berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kebijakan, dan kebutuhan sesuai dengan kewenangan Menteri.
  5. Pemrakarsa mengajukan usul perencanaan penyusunan Peraturan Menteri.
  6. Usul perencanaan penyusunan Peraturan Menteri memuat:
  • Daftar usulan judul
  • Latar belakang
  • Tujuan
  • Sasaran
  • Pokok materi muatan rancangan Peraturan Menteri
  1. Pemrakarsa dapat mengusulkan rancangan Peraturan Menteri diluar P3M.
  2. Pengajuan usul rancangan Peraturan Menteri diluar P3M disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Sekretaris Jenderal.
  3. Rancangan Peraturan Menteri dalam Program Penyusunan Peraturan Menteri yang tidak ditetapkan menjadi Peraturan Menteri, dapat diusulkan kembali untuk masuk dalam P3M tahun berikutnya.
  4. PENYUSUNAN
  5. Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri dilakukan oleh Pemrakarsa. Dalam hal ini pihak Pemrakarsa dapat membentuk Tim dalam rangka penyusunan rancangan Peraturan Menteri.
  6. Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri tersebut dapat mengikutsertakan Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri, kementerian/lembaga terkait, ahli hukum, praktisi, dan akademisi yang menguasai substansi yang berkaitan dengan materi rancangan Peraturan Menteri.
  7. Susunan keanggotaan Tim ditetapkan dengan keputusan pimpinan unit eselon I.
  8. Teknik penyusunan rancangan Peraturan Menteri dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  9. Rancangan Peraturan Menteri disiapkan oleh Pemrakarsa sesuai dengan tugas dan fungsinya.
  10. Rancangan Peraturan Menteri disampaikan secara tertulis kepada kepada Sekretaris Jenderal dengan tembusan Kepala Biro Hukum dan KLN.
  11. Rancangan Peraturan Menteri disertai penjelasan mengenai dasar pertimbangan atau alasan perubahan, pokok materi yang diatur, dan soft copy rancangan Peraturan Menteri.
  12. Kepala Biro Hukum dan KLN melakukan telaahan terhadap rancangan Peraturan Menteri.
  13. Telaahan terhadap rancangan Peraturan Menteri meliputi:
  14. Sinkronisasi yang memuat pengharmonisasian, pemantapan, pembulatan gagasan.
  • Penyesuaian sistematika dan teknik perancangan.
  1. Dalam rangka penelaahan, Kepala Biro Hukum dan KLN mengadakan rapat pembahasan dan/atau koordinasi dengan unit kerja eselon I Pemrakarsa, unit kerja eselon I terkait dan instansi terkait lainnya di luar Kementerian tersebut.
  2. Kepala Biro Hukum dan KLN menyampaikan rancangan Peraturan Menteri hasil telaahan kepada pejabat eselon I dan/atau eselon II pemrakarsa untuk memperoleh paraf pada kotak persetujuan dari setiap lembar rancangan Peraturan Menteri.
  3. Dalam hal rancangan Peraturan Menteri telah memperoleh paraf persetujuan dari pejabat eselon I dan/atau eselon II Pemrakarsa Kepala Biro Hukum dan KLN membubuhkan paraf pada kotak persetujuan dari setiap lembar rancangan Peraturan Menteri dan pada sebelah kiri nama jabatan Menteri.
  4. Dalam hal Kepala Biro Hukum dan KLN telah memberikan paraf persetujuan, Kepala Biro Hukum dan KLN menyampaikan rancangan Peraturan Menteri kepada Sekretaris Jenderal.
  5. Sekretaris Jenderal memberikan paraf pada kotak persetujuan dari setiap lembar rancangan Peraturan Menteri dan pada sebelah kanan nama jabatan Menteri.
  6. Kepala Biro Hukum dan KLN menyiapkan konsep Nota Dinas Sekretaris Jenderal kepada Menteri dengan melampirkan 3 (tiga) naskah asli rancangan Peraturan Menteri yang telah dibubuhi paraf Sekretaris Jenderal dan Kepala Biro Hukum dan KLN
  7. PENETAPAN
  8. Sekretaris Jenderal menyampaikan rancangan Peraturan Menteri kepada Menteri untuk memperoleh penetapan Menteri.
  9. Rancangan Peraturan Menteri ditetapkan oleh Menteri menjadi Peraturan Menteri dengan membubuhkan tanda tangan.
  10. Rancangan Peraturan Menteri yang telah ditetapkan dan ditandatangai oleh Menteri, melalui tata usaha Sekretariat Jenderal disampaikan kepada Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri untuk diberi nomor.
  11. PENGUNDANGAN
  12. Sekretaris Jenderal melalui Kepala Biro Hukum dan KLN menyampaikan Peraturan Menteri yang telah diberi nomor kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
  13. Penyampaian Peraturan Menteri sebagaimana (dua) naskah dan 1 (satu) soft copy.
  14. Ketentuan mengenai tata cara pengundangan Peraturan Menteri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  15. Kepala Biro Hukum dan KLN mendokumentasikan naskah asli Peraturan Menteri yang telah diundangkan.
  16. Kepala Biro Hukum dan KLN membuat salinan naskah asli Peraturan Menteri untuk disampaikan pada pejabat eselon I dan II pemrakarsa serta unit kerja terkait.
PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI

Setelah rancangan Peraturan Menteri telah sah diterima oleh Kepala Biro Hukum dan KLN yang kemudian dibuatkan salinan naskah aslinya, Peraturan Menteri dibagikan kepada Pejabat Eselon I dan II serta pemrakarsa dan juga unit kerja terkait. Alasannya adalah agar pelaksanaannya dapat segera tersebar dan peraturan pundapat segala dijalankan.

Proses publikasi dari peraturan menteri tersebut dilakukan di berbagai media mulai dari media masa, media sosial, sosialisasi dan lain sebagainya. Sama seperti pada contoh dari peraturan menteri, ada peraturan yang berrtahan cukup lama dan ada juga yang hanya bertahan separuh waktu kemudian harus ditarik atau dibatalkan apabila ada peraturan yang baru.

Sama halnya ketika kita menjual sebuah produk baru namun tidak ada iklan yang disampaikan kepada orang tertentu, maka produk tersebut akan kurang laku. Hal ini sama dengan produk peraturan pemerintah yang dalam hal ini adalh peraturan menteri.

Setidaknya sebagai pemrakara, para pihak yang berkepentingan dapat memberikan upayanya untuk memberikan sosialisasi terhadap perwakilan provinsi atau daerah utnuk menerima penjelasan tersebutn yang kemudian kembali disosialiaikan kepada anggota yang lainnya.

Contoh dari upaya pelaksanaan kebutuhan akan rumah tangganya dan juga kementriannya yang sudah berlangsung cukup lama yakni 17 Gedung Kementerian BUMN pada tanggal 27 November 2014.

Disini Kementerian BUMN menggelar sesi ke-tujuh Sosialiasi Peraturan Menteri dan Bimbingan Teknis Penyampaian Data Secara Elektronik yang dilaksanakan secara bertahap oleh Kedeputian Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN kepada seluruh Sekretaris Perusahaan 119 BUMN serta Admin Data Portal FIS dan Admin Data Portal SDM.

Kasus kedua adalah sebagai pelaksanaan  Sosialiasi dan Bimbingan Teknis tersebut antara lain terkait dengan Penyampaian Data Secara Elektronikpengembangan atas Portal Financial Information System (FIS) dan Portal SDM dan sekaligus sesi uji coba pemasukan data kedalam FIS secara langsung untuk posisi audit tahun 2013.

Kedepannya, Kementerian yang membawahi 119 BUMN ini akan mewajibkan BUMN untuk mengisi data pada portal-portal terlebih dahulu sebagai syarat utama pelaksanaan RUPS BUMN.

Setelah ada upaya sosialisasi, maka selanjutnya akan diadakan sebuah kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan maupun sosialisasinya. Namun, bukan berarti pelaksanaan dari Peraturan Menteri tersebut buruk. Namun masih ada perlu upaya untuk sosialisasi ulang dan sebagainya.

Selanjutnya sebagai sebuah contoh kasus untuk menindaklanjuti pelaksanaan Permendagri ini Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan perlu adanya monitroing dan evaluasi untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Permendagri tentang Kartu Identitas Anak (KIA) di Kota Semarang dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi setiap kendala yang dialami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemkot Semarang baru akan melaksanakan Permendagri tentang KIA pada tahun 2017. Persiapan yang dilakukan Pemkot Semarang adalah mengumpulkan data anak-anak, membahas penambahan manfaat KIA dengan pihak terkait, melakukan studi banding ke daerah yang sudah melaksanakan KIA, dan melakukan sosialisasi mengenai KIA dan dasar pengaturannya.

Namun dalam persiapannya Pemkot Semarang mengalami beberapa kendala antara lain ketidakjelasan pendistribusian blanko KIA, keterbatasan dan keterlambatan pemberian anggaran, kurangnya sumber daya manusia yang berkompeten untuk mengoperasikan Sistem Informasi Admninistrasi Kependudukan (SIAK) dan belum adanya peraturan pelaksana dari Perda Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

Oleh karena itulah Pemkot Semarang melakukan upaya yakni pengadaan blanko KIA sendiri, mempersiapkan pelatihan pengoperasian SIAK, dan membuat Peraturan Walikota sebagai peraturan pelaksana dari Perda Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.