Menjadi pengusaha sukses rupanya tidak mutlak menuntut pendidikan tinggi. Anda bisa melihat bagaimana perjuangan seorang Sumarno, yang hanya berbekal ijasah SMP namun sukses dengan bisnis furniture jati miliknya dan sukses mengeruk untung bersih tak kurang dari 20 juta tiap bulannya kini.
Perjalanan hidup seorang Sumarno memang bukan perjalanan yang mudah, justru liku hidup yang dijalaninya membangunnya menjadi tangguh dan kini mampu menerbitkannya menjadi salah satu pelaku bisnis furniture jati ternama di kawasan Bogor.
Berawal dari nasib malang yang harus dialaminya ketika baru saja lulus SMP, sang ayah divonis mengidap penyakit keras yang memakan biaya pengobatan sangat besar. Tabungan sang ayah yang sejatinya untuk membiayai sekolah Sumarno ke bangku SMA terpaksa terpakai untuk pengobatan dan selakigus memupuskan harapannya mengenyam bangku SMA.
Dengan kondisi ini, Sumarno mencoba bekerja sembarang pada berbagai lowongan pekerjaan di kota Klaten, kota asalnya. Hingga Sumarno bermuara pada sebuah usaha furniture jati dan membuatnya sangat terlatih dalam sebagai tukang kayu. Sumarno dalam sekejab menjadi mahir dalam membuat kusen, daun pintu jendela sampai furniture.
Sumarno sempat merantau ke Jakarta sesaat pada sebuah perusahaan pembangunan sebagai tenaga kayu, sebelum akhirnya kembali ke Klaten karena menikah dan mnemani sang istri melahirkan. Setelahnya, Sumarno memutuskan menetap di Klaten dan kembali bekerja pada usaha furniture.
Hingga pada satu waktu setelah 7 tahun bertinggal di Klaten, Sumarno diajak untuk merantau ke Bogor membantu kakaknya yang mulai sukses dengan usaha furniture jati yang beliau rintis. Keahlian Sumarno sebagai tukang kayu membuat sang kakak merasa membutuhkan bantuan adiknya untuk membantu produksi usaha kecilnya itu.
Rupanya dengan kerjasama kakak beradik ini, bisnis furniture jati yang dirintis sang kakak semakin menjadi, bahkan sampai terpaksa menolak pesanan karena pesanan diluar kapasitas. Inilah yang membuat sang kakak meminta Sumarno untuk membuka cabang bisnis furniture jati mereka di belahan lain kota Bogor. Kapasitas produksi di work shop pertama tak mampu lagi menampung pesanan yang masuk setiap bulannya.
Dengan berbekal 8 orang tenaga produksi, Sumarno mulai mencoba menjalankan sendiri cabang bisnis furniture jati cabang dari usaha sang kakak. Di sini Sumarno masih berstatus sebagai karyawan dan itu sebabnya secara berkala sang kakak masih melakukan kontrol baik itu pada sisi produksi maupun pada sisi pengelolaan keuangan. Bahkan sistem manajemen masih terintegrasi dengan work shop utama.
Namun melihat bagaimana perkembangan cabang yang dikelola Sumarno, pada tahun 2008 sang kakak menantang Sumarno untuk mengambil alih cabang menjadi miliknya sendiri. Awalnya Sumarno ragu karena paham betul mengelola bisnis furniture jati sendiri tidak sesederhana membuat lemari atau kitchen set belaka. Sumarno akan direpotkan dengan urusan pemasaran, kepegawaian dan keuangan.
Namun berkat dorongan sang kakak, Sumarno dan istri akhirnya sepakat membongkar tabungan demi mendapatkan dana 25 juta. Dari modal ini, Sumarno membeli asset sang kakak termasuk persediaan dari produksi work shop utama.
Untung selama masa peralihan ini sang kakak tidak lepas sepenuhnya, masih banyak bimbingan yang diberikan untuk membantu Sumarno memahami seluk beluk detil dalam membangun usaha. Termasuk pula membantu mengarahkan teknik pemasaran yang tepat.
Rupanya saran-saran sang kakak, seperti promosi via pameran di Jakarta dan kerjasama dengan kontraktor cukup membuahkan hasil. Kini Sumarno mengaku pernah menjual produk furniture jati buatannya ke pasar manca. Tak hanya itu di pasar lokal sekalipun, konsumen Sumarno sangat luas, mulai dari pejabat, petinggi TNI, pengusaha sampai ekspatriat.
Kini dalam satu bulan setidaknya bisbis furniture jati yang diberi tajuk Jati Kencana ini tak pernah sepi orderan. Setiap bulan tak kurang dari 20 juta masuk dalam kantongnya sebagai untung bersih. Dan jangan bicara omset, karena Sumarno selalu mampu membukukan omset besar hingga ratusan juta.
Rahasia sukses dari Sumarno rupanya hanya terletak pada tiga kunci. Pertama selalu mau belajar baik itu belajar cara pengelolaan sampai belajar teknik produksi baru, ini terkait dengan kunci kedua yakni selalu melek trend. Karena dunia furniture tak ubahnya dengan fashion bagi kalangan tertentu, Anda perlu memahami trend yang sedang muncul dan menyesuaikanya dalam rancangan Anda. Terakhir adalah kesungguhan dan ketulusan dalam melayani konsumen.
Anda bisa lihat, dengan kegigihan dan ketulusan dalam memberikan yang terbaik bagi konsumen maka seorang Sumarno yang awalnya bernasib malang harus menghentikan pendidikan karena masalah biaya justru kini mengecap sukses besar dari bisnis furniture jati yang beliau rintis. Sebuah pelajaran bisnis yang penting bukan?-Tim Siap Bisnis-