Asuransi Perjalanan Syariah dan Perbedaannya dengan Konvensional

Sejak dikeluarkannya UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggara Haji dan Umroh, asuransi perjalanan bagi peserta haji dan umroh menjadi diwajibkan. Namun sebenarnya asuransi perjalanan Syariah tidak hanya untuk perjalanan ibadah tersebut saja. Asuransi ini bisa digunakan meski orang tersebut tidak beragama Islam.

Sayangnya belum banyak yang mengetahui tentang asuransi perjalanan Syariah. Ini ditunjukkan dengan proyeksi pertumbuhannya yang kurang signifikan. Meski pun secara keseluruhan kinerja asuransi Syariah dianggap cukup memuaskan. Tercatat kenaikan total aset di tahun 2019 naik sebesar 8,33%, yakni setara dengan Rp45,45 triliun.

Asuransi Perjalanan Syariah

Apa itu Asuransi Perjalanan Syariah?

Salah satu penyebab masih minimnya peminat asuransi ini karena masyarakat kurang terinformasi dengan baik terkait asuransi perjalanan Syariah. Oleh sebab itu, sebaiknya pembahasan diawali dengan pemahaman tentang asuransi perjalanan bertipe Syariah ini. Agar lebih mudah, bisa mengambil konsep asuransi Syariah berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.

Berdasarkan fatwa tentang tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah ( No.21/DSN-MUI/X/2001), asuransi Syariah diartikan sebagai usaha (sistem tabarru’) yang bertujuan untuk saling melindungi/tolong-menolong sejumlah orang.

Nantinya dana digunakan untuk menghadapi resiko sesuai akad (perjanjian awal) dan hukum Syariah. Jadi dapat dipahami kalau asuransi ini adalah perlindungan perjalanan yang menjamin sejumlah resiko sesuai kesepakatan dan dilaksanakan secara Syariah.

Hal-hal yang ditanggungkan oleh asuransi perjalanan ini kurang lebih sama dengan asuransi perjalanan konvensional, misalnya kompensasi keterlambatan atau pembatalan perjalanan, biaya perawatan di rumah sakit, santunan kecelakaan atas kematian dan kecacatan, kerusakan atau keterlambatan bagasi, kehilangan barang pribadi, bahkan ada yang memberikan perlindungan rumah yang ditinggalkan.

Satu hal yang perlu diperhatikan saat akan membeli asuransi perjalanan Syariah adalah tujuan perjalanan. Saat ini asuransi tersebut hanya berlaku untuk perjalanan yang tergolong wisata halal.

Maka tak heran kalau mayoritas masih dimanfaatkan oleh orang-orang yang akan haji atau umroh. Padahal meski tidak umroh tapi negara tujuannya adalah Turki, Mesir, dan kawasan sekitarnya pun bisa.

Bedanya dengan Asuransi Konvensional

Walaupun secara konsep dan resiko yang dilindungi mirip dengan asuransi perjalanan konvensional, tetap ada perbedaan di antara keduanya. Di atas telah disebutkan satu syarat khusus asuransi perjalanan Syariah yang hanya berlaku untuk wisata halal. Tidak seperti tipe konvensional yang bisa untuk perjalanan apa pun. Adapun perbedaan lainnya adalah, sebagai berikut:

1. Status Dana

Dalam asuransi kovensional dikenal dengan istilah “dana hangus”, artinya jika seseorang tidak melakukan klaim sama sekali dan masa perjanjian asuransi telah habis maka tidak ada dana yang didapatkan. Ini tidak berlaku pada asuransi sistem Syariah, adanya dana tabarru’ membuat si pemegang polis masih mendapatkan manfaat meskipun jumlahnya sedikit.

Oleh sebab itu, posisi perusahaan adalah pengelola dana, bukan pemilik dana. Uang yang sudah dibayarkan akan dikelola dan membayarkan bagi yang membutuhkan dengan besaran sesuai akad di awal.

2. Prinsip Resiko

Asuransi perjalanan ini hanya menanggung resiko-resiko yang halal (jelas) dan tidak mengandung syubhat. Hal-hal yang tergolong syubhat adalah ketidakjelasan apakah sesuatu atau kejadian tersebut halal atau haram. Maka saat melakukan klaim asuransi ini perlu kronologis sebagai fakta kejelasan (kehalalan) kejadian tersebut.

Penyabab yang sesuai syar’i sangat ditekankan dalam asuransi Syariah. Hal ini dikarenakan tujuan awal pengelolaan dana adalah untuk hal-hal halal saja. Meskipun penerima manfaatnya adalah non-Muslim, selama dialokasikan kepada sesuatu yang halal maka bisa dilaksanakan.

3. Akad

Prinsip yang paling mendasar dalam Syariah adalah akad. Akad dalam asuransi ini adalah akad takaful (tolong menolong). Jadi dana yang didapatkan dari seluruh pemegang polis akan disatukan dalam satu rekening dan disebut dana tabarru. Dana inilah yang nantinya akan digunakan untuk membayar santunan atau meng-cover resiko sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan dalam sistem konvensional akadnya adalah tabaduli atau akad jual beli. Pada sistem ini sangat riskan dengan unsur gharar (penipuan), riba, dan hal-hal yang diluar prinsip syariat Islam.

4. Wakaf

Wakaf tidak ada pada asuransi konvensional, yakni penyerahan hak milik atau harta benda dengan tujuan memberikan manfaat bersama. Dalam asuransi perjalanan hal yang diwakafkan adalah manfaat perlindungan. Jadi seseorang yang memiliki asuransi ini dapat memberikan manfaat berupa santunan asuransi meninggal kepada orang lain atau bentuk manfaat lainnya.

5. Pengawas Dana

Lembaga yang mengawasi asuransi ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tugasnya DSN adalah mengawasi segala bentuk aktivitas ekonomi Syariah di Indonesia, apakah praktiknya sudah sesuai syariat atau belum. Ini pun termasuk dalam mengeluarkan fatwa atau hukum sebagai aturan yang legal.

Perusahaan yang mengeluarkan asuransi perjalanan bertipe Syariah harus mendapatkan persetujuan dari DSN dulu. Oleh sebab itu, pemegang polis asuransi ini tak perlu ragu akan praktiknya sudah sesuai aturan Islam atau belum. Sedangkan asuransi konvensional yang terdaftar dan resmi akan berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

6. Pengelolaan Dana

Prinsip asuransi yang berkembang di masyarakat adalah memindahkan resiko sepenuhnya kepada perusahaan asuransi. Hal ini bertentangan dengan prinsip Syariah sebab asuransi perjalanan Syariah hubungan perusahaan dengan peserta adalah risk sharing, artinya saling membantu, bekerja sama, dan menjamin lewat dana hibah (tabarru). Oleh sebab itu, perusahaan hanya sebagai pihak yang mengelola dana, bukan memiliki dana sepenuhnya.

7. Klaim

Proses klaim antara kedua asuransi perjalanan ini tidak ada bedanya. Masing-masing perusahaan memiliki mekanisme sendiri yang harus diikuti oleh si pemegang polis jika ingin melakukan klaim. Hanya saja seperti yang disebutkan di atas, resiko-resiko yang bisa diklaim hanya yang bersifat halal dan jelas. Ini semua harus didukung dengan bukti-bukti yang valid barulah orang tersebut bisa mendapatkan manfaat dari asuransi perjalanannya.

Mekanismenya pembayarannya disesuaikan dengan kesepakatan di awal, yaitu memilih reimburse atau cashles. Sama seperti asuransi konvensional, saat akan memilih sistem Syariah pun perlu dipertimbangkan sesuai dengan kenyamanan yang ingin dinikmati.

8. Surplus dan Zakat

Selain wakaf, ada hal lain yang tidak terdapat dalam asuransi berjenis konvensional, yaitu zakat. Setiap peserta asuransi Syariah wajib membayar zakat. Kesepakatan zakat pun setiap perusahaan akan berbeda, maka dari itu pembeli asuransi ini harus membaca persyaratan dan ketentuan sedetail mungkin.

Namun dana zakat ini pun tidak akan dinikmati oleh perusahaan. Meski uangnya masuk ke perusahaan asuransi, nantinya disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Dengan begitu, si pemegang polis akan mendapatkan pahala karena menolong sesama.

Mengetahui banyaknya manfaat asuransi perjalanan Syariah maka dapat dipertimbangkan sebagai pelengkap perjalanan. Asuransi ini tidak terbatas untuk masyarakat muslim saja, namun siapa pun boleh menggunakannya. Hanya saja perlu memperhatikan persyaratan perjalanan. Selebihnya proteksi bernilai hampir sama dengan asuransi yang bersifat konvensional.